kisah dayak punan BERKAKI MERAH, MITOS ATAU KENYATAAN?
MALAM di hutan Penyinggahan Penyungkat yang berada di tepi
Sungai Sebunut, anak Sungai Mahakam di Kutai Barat, Kalimantan Timur, semakin
larut. Di hari kedelapan perjalanan, warga Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito,
Kalimantan Tengah, yang mengawal Tim Perintis Ekspedisi Lintas
Barito-Muller-Mahakam terus menuturkan berbagai kisah soal kampung mereka.
Salah satu kisah yang membuat tim tertarik adalah informasi suku
Dayak Punan Siau atau Ot Siau atau Punan berkaki merah yang katanya hingga kini
masih ada. “Di Tumbang Tujang sana ada warga yang pernah diajak Punan Siau itu
ke goanya,” kata Golo (40), warga Tumbang Topus.
Punan Siau dilukiskan sebagai orang Dayak yang berkaki merah
yang tinggal di goa-goa yang penyebarannya mulai dari pedalaman Kalimantan
Tengah hingga Kalimantan Timur. Warga menggambarkan, Punan Siau selalu
menyalakan kayu bakar di dalam goa untuk perapian.
“Suku ini tidak pernah mau bertemu dengan warga lain, bahkan
dengan Dayak Punan seperti kami ini mereka tidak mau ketemu,” kata Golo. Suku
Siau ini dilukiskan hanya mengenakan pakaian dari kulit kayu dan bisa berjalan
cepat di antara tebing-tebing dan rerimbunan pohon di dalam hutan.
Golo menambahkan, hingga kini belum ada warga yang paham bahasa
mereka. “Ketika dua warga Tumbang Tujang dibawa ke goa mereka, para Punan Siau
ini hanya diam saja seperti membisu, tidak mengeluarkan kata-kata. Karena itu,
sulit dimengerti apa sebenarnya yang terjadi pada mereka,” ungkapnya.
PUNAN berkaki merah mendiami goa-goa karena terdesak akibat
penjajahan Belanda. “Belanda telah membuat mereka takut dan mereka hingga kini
tetap bersembunyi di dalam goa-goa,” kata Golo.
Golo kemudian memberikan dua nama warga Tumbang Tujang tersebut
kepada tim perintis. “Kalau mau mencoba mencari mereka, silakan hubungi dua
orang ini. Tanya di mana goa yang pernah mereka masuki itu,” kata Samsi (30),
warga lainnya.
Hanya saja, Samsi mengingatkan, jika ingin mencari goa mereka,
jangan berpakaian modern atau membawa peralatan modern. “Kalau mereka melihat
orang yang dianggap aneh dan bukan dari kalangan sekitar, mereka biasanya akan
melepaskan senjata sumpit,” katanya.
Oleh karena itu, Samsi mengingatkan, siapa yang ingin menemui
mereka sebisanya mengenakan pakaian pemburu dengan senjata tombak agar bisa
menyerupai warga suku Punan. “Kalau dengan senjata tradisional seperti tombak
dan mandau, mereka malah tidak akan menyerang kita,” katanya.
Berbagai cerita, entah mitos atau legenda, didapat tim perintis
selama perjalanan 13 hari menyusuri Sungai Barito melintasi Pegunungan Muller
dan kembali menyusuri Sungai Mahakam. Cerita-cerita tersebut berkembang dari
mulut ke mulut, dan hampir semua warga memiliki pengetahuan yang merata soal
cerita itu.
ANTROPOLOG dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan
Evangelis (STT GKE) yang menggeluti masalah etnis Dayak, yang juga Direktur
Eksekutif Lembaga Studi Dayak-21, Marko Mahin, mengingatkan agar berhati-hati
menerima informasi yang masih simpang siur. “Bisa jadi itu hanya mitos,”
katanya.
Mitos, seperti di daerah lain umumnya, sering digunakan warga
untuk berlindung dari sesuatu maksud. Marko Mahin pernah memiliki pengalaman
yang sama, yaitu mendapat informasi keberadaan Dayak Ot Siau, tetapi setelah
dilacak ternyata informasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Di pedalaman, mitos dan kenyataan hampir bersanding bersama.
Jika informasi yang diterima tidak disaring, bisa menjadi suatu kesalahpahaman.
Beberapa peneliti diindikasikan juga sering tersesat dan kesimpulannya menjadi
salah akibat tidak merunut dengan baik informasi yang diterimanya.
Selain informasi soal suku Dayak Punan Siau atau Ot Siau, tim
perintis ekspedisi juga mendapat informasi adanya kuburan batu di deretan karst
Pegunungan Muller. Warga Tumbang Topus menuturkan, kuburan batu itu berisi
tulang belulang yang ukuran tubuhnya melebihi manusia normal, dengan kata lain,
warga Tumbang Topus meyakini zaman dulu memang ada manusia raksasa.
“Informasi ini perlu dicek dengan teliti bukti-bukti
kebenarannya, saya juga sering mendengar mitos-mitos soal manusia raksasa ini,”
kata Marko Mahin. Semoga saja informasi tersebut tidak sekadar mitos. (AMR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar